Potong Bebek Angsa Masak di Koalisi
Series Drama Kalurahan Penthol
oleh: Juli Al Khansa
Mentari sedang bertengger cantik tepat di garis katulistiwa. Sibakan angin laut pun membelai kulit Jono yang hitam oleh kerasnya pekerjaan sebagai kuli bangunan.
"Tupai kok Don! Tupai tenan!" Teriak Jono sembari menggebrak meja angkringan dengan lap putih dari pundaknya.
"Hah?" tanya Doni memastikan makna kata Jono tersebut.
"Bajing!"
"Oh ... kenapa?"
"Isteriku marah- marah terus. Katanya bingung nggak bisa membelanjakan uangnya. Katanya kurang terus ... terus kurang ... kurang lagi ... mumet aku Don! mumet!"
"Sabar Jon ... sabar ...."
"Apa kenyang makan sabar? hah? kamu bilang kemarin partaimu berhasil memperjuangkan aspirasi warga. BBM nggak jadi naik, lha kok selang dua hari saja diumumkan naik. Padahal aku lagi enak- enaknya dengar dangdutan sambil rebahan, kaget banget aku Don! Kaget!" Keluh Jono sambil nyomot 2 buah mendoan dengan 3 cabai rawit.
"Kamu rebahan? tak laporke pak mandor lho Jon!"
"Eh, jangan! Anu ... ini pinggangku pegel banget! Tahu sendiri to kalau bikin tol sungai itu panasnya seperti apa!"
"Hehe ... bercanda Jon! Begini, potong bebek angsa masak di koalisi Jon."
"Maksudmu?"
"Nah, partai kelompok pendukung pak Coki kan bebek belur, bebek kuring, angsa putih dan angsa hitam, jadi mereka itu visi misinya sama, dimasak dalam satu kuali. Satu suara. "
"Terus? tugas partaimu yang namanya Ayam Jago itu kerjanya apa di kelurahan? hah?"
"Nah, partai ayam jago itu sebagai oposisi. Tugasnya mengingatkan partai pendukung lurahnya jika mengeluarkan kebijakan yang tidak pro warga."
"Terus?"
"Terus ... saat rapat di balai kelurahan kemarin, jumlah partai koalisi pendukung pak Coki dibandingkan dengan partai oposisi yang ikut rapat hanya selisih 1 saja Jon ...."
"Wah, sayang sekali ya Don!"
"Hehe ... peserta rapat pendukung pak Coki ada 10. Oposisi cuma 4."
"O ... itu namanya 1 ketiban telur bebek Don!"
"Ya begitulah ... kamu sih kemarin nggak milih partai ayam jago!"
"Lha ayam jago eksklusif, kurang merangkul masyarakat. Sedangkan partai bebek itu partainya wong cilik Don."
"Oh begitu, mungkin kamu belum paham saja terkait partai ayam jago ini Jon! Oya, kamu kan dapat bantuan sembako, to? kok masih ngeluh gitu?"
"Sembako isinya beras, sayur, lele, pisang. Lha aku punya sawah, kebun isinya sayur dan pisang. Kolam isinya juga lele. Coba kalau dikasih uang tunai, isteriku kan bisa belanja lainnya. Nggak marah- marah tiap hari, kan aku jadi nggak dapat jatah mingguan Don!"
"Wo ... lha kalian kurang bersyukur kok, sudah dapat bantuan masih saja protes!"
"Pak Coki sendiri sudah janji nggak akan menaikkan harga BBM!"
"Dan bilang kalau bantuan sosial itu bukan solusi to?"
"Iya, tapi ya jangan dicabut! Nanti kalau inflasi gimana?" kata Jono penuh iba.
"Sebenarnya BBM tetap disubsidi agar tidak naik. Pembangunan yang nggak penting itu sejak awal seharusnya jangan dilakukan. Balai desa Penthol kan masih bagus, kenapa harus di pindah ke pulau Bulu Perindu? itu pembangunan seperti tol sungai itu kan juga nggak penting, karena sudah ada jembatan merah yang masih bagus dan kokoh." Terang Dono dengan jelas.
"Heh, kalian di sini mau ngobrol apa makan?" tanya pemilik angkringan sedikit emosi.
"Makan sambil ngobrol Bu ... anu, saya pesen kopi nggak pakai gula ya Bu." Jawab Dono.
"Yoh ... kamu Jon?"
"Pait Don! Pait! Urip wis sepet tambah nggak pakai gula! Sepet + pahit kaya gimana rasanya? saya es teh Bu!"
"Ya, oke ...."
"Lho, kopi pahit itu menyehatkan Jon, searching saja manfaatnya!"
"Emoh! Eman- eman kuotanya. Partai bebek memang sungguh terlalu, katanya membela wong cilik, malah mence ... kik!"
"Eh, kamu ngomong apa? tak jewer lho ya ... tak jewer ...." Tiba- tiba mak Wati datang dari arah belakang, lalu menjewer telinga Jono.
"Aduh, ampun Mak ... ampun!" Jono mengiba sembari menelangkupkan kedua tangannya mohon maaf.
"Hehe ... potong bebek angsa masak di koalisi. Emak minta dansa, 3 periode. Jewer yang kanan ... jewer yang kiri ... tralala ...." Dono bernyanyi, lalu menyeruput kopi.
"Diam itu emas lho Don! Mau berapa kilo? atau jadi carik mau nggak?" tanya mak Wati.
"Hehe .... Kalurahan Penthol harga mati Mak, saya nggak bisa dibeli."
"Hih, gayamu!" Cebik mak Wati sembari melempar Dono dengan kain lap di meja.
Akhirnya Dono mohon pamit hendak melanjutkan pekerjaannya sebagai kang bakso.
"Anu Don ... makanmu di angkringan ini biar Mak yang bayar ya?"
"Nggak usah Mak, terimakasih ... itu angkringan milik isteri saya kok Mak." Jawab Dono sembari berlalu.
"Hah? tupai kok!"
**bersambung**
Lembah Menoreh, 5 September 2022
No comments
Tulis komentar Anda!