#Penthol_Di_Ujung_Garpu
![]() |
pixabay |
oleh Juli Al Khansa
Hari itu mentari sudah mulai meredup, tapi panasnya suhu bumi membuat orang- orang harus menghidupkan kipas. Ruangan ini begitu engap dan sesak. Di sudut ruang tiba- tiba mak Wati menangis bersama Rani, anaknya, dan seluruh saudaranya di sebuah pabrik penggilingan tahu.
Mak Wati duduk di kursi plastik berwarna merah tepat di samping anak perempuannya. Di depan mereka seluruh karyawan pabrik pun menangis bersama. Menangisi kenaikan harga air yang tak kunjung henti.
"Naik- naik ke puncak gunung, tinggi dhuwur sekali ... (banget). Naik- naik ke puncak gunung, tinggi dhuwur sekali (banget). Kiri kiwo, kulihat ndelok, banyak akeh, cemara ...." begitulah lagunya, sambil berurai air mata.
Segala bentuk demo pun mereka lakukan. Tak berhenti di sebuah tangisan. Mereka mulai berpikir secara rasional dan logis, bagaimana caranya terlepas dari gencetan hidup yang membuat mereka krempeng, tipis, tiada daya sebagai wong cilik.
Akhirnya mereka bersama- sama menyusun sebuah buku tips agar seluruh karyawan bisa hidup damai tanpa harus ada kenaikan air, kenaikan kedelai, bahkan sebenarnya subsidi dari pemerintah itu juga nggak perlu. Sudah ada lho solusinya di buku merah yang mereka susun.
Mereka sampaikan hal itu kepada pemerintah kalurahan agar menjadi solusi dan kebijakan yang sangat bijak, solutif, dan praktis. Hari berganti hari. Demo demi demo terus terjadi.
Tibalah masanya pemilihan lurah, pihak pabrik mengusung pakde Coki- Coki untuk menjadi lurah di kalurahan tersebut. Berbagai cara mereka lakukan. Serangan fajar itu biasa. Lalu mereka membuat gebrakan yang sangat luar biasa. Muncullah kotak pandora. Kotak suara dari kardus, tapi digembok rapat agar tak bersuara.
Peristiwa na'as pun terjadi dimana- mana. Banyak panitia pemungutan suara yang gugur, konon ada yang kelelahan, ada juga yang keracunan. Namun hingga sekarang berita itu hilang ditelan preng- prengan.
Pak Coki- Coki mendapatkan karpet merah beserta kursi goyang. Ia berhasil melenggang cantik menjadi lurah kalurahan Penthol. Akhirnya mak Wati bersama Rani dan seluruh karyawan pabrik menggelar pesta tasyakuran mewah. Mereka berbincang sembari bersenda gurau, "awas lho kamu Rani, jangan sampai nikah sama kang penthol. Mau dikasih makan apa nanti?" seloroh mak Wati dibarengi gelak tawa seluruh penghuni pabrik.
Ternyata mak Wati lupa bahwa pabriknya juga memproduksi tahu penthol, bahkan menjual penthol- penthol itu tanpa berpikir panjang. Ia lupa bahwa uang yang ia dapatkan dan kemewahan yang ia nikmati selama ini juga hasil pajak dari para penthol. Kala itu penthol yang paling terkenal bernama penthol provider, berhasil ia jual tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Ia bersama kroninya berhasil menduduki kalurahan Penthol. Segala kebijakan yang kurang bijak mereka tetapkan. Meski dari awal mereka bilang bersama wong cilik, kini wong cilik bagai dicekik. Harga air, listrik, kedelai dan seluruh bahan pokok pun mereka naikkan. Segala bentuk dan jenis subsidi mereka kucurkan. Padahal, polemik bantuan itu tak kunjung henti. Seluruh rakyat meronta tiada terperi. Hidup di kelurahan sendiri bagai dijajah londo dalam negeri.
Bantuan tunai mengalir bertubi, tapi harga sembako melambung tinggi. Biaya sekolah konon terjangkau sekali, tapi harga buku hampir tak bisa dibeli. Pandemi datang dan pergi tanpa permisi. Anak- anak, dewasa, lansia semua terkena pilek tiada henti. Saat istirahat tidur siang, berita kenaikan BBM pun menjadi hadiah yang sangat mengejutkan sekali.
Namun, konon akan kembali dikucurkan BLT untuk yang terdampak BBM. Ah, sak karepmu Mak! Suka- suka elu deh! Capek deh gua, kena prenk melulu.
Lembah Menoreh, 3 September 2022
Penthol di Ujung Garpu
No comments
Tulis komentar Anda!